Kemana
Arah Gerakan Mahasiswa Sekarang?: Dari Refleksi Menuju Aksi
29
januari 2017
Riki Irfandi HBB
Sejarah Gerakan
Mahasiswa Dari Masa ke Masa
Sejarah pergerakan
Indonesia tak bisa dilepaskan pada masa perkembangan 1912-1926 atau yang
menurut Takashi Shiraishi adalah peristiwa ‘Zaman Bergerak’. Peran para
intelektual muda yang membawa gagasan baru dalam dunia pergerakan mengalir
deras dalam kesadaran politik rakyat. Zaman pergerakan di Indonesia pada masa
itu mulai menampilkan kesadaran politik baru dalam bentuk yang modern dan akrab
dengan kita saat ini, seperti surat kabar, rapat, pemogokan, serikat, partai
dan ideologi. Hal tersebut tidak mungkin dapat ditemui dari masa sebelumnya
dimana gerakan lebih bersifat mesianistik atau yang dipimpin para feodal dengan
cara tradisional.
Kesadaran politik
rakyat terbentuk tidak hanya melalui interaksi sosial, namun melalui aktivitas
sosial dan aktivitas politik terorganisasi dengan cita-cita untuk merdeka.
Mobilisasi massa secara besar telah menciptakan radikalisasi dalam gerakan.
Rakyat mulai aktif melakukan berbagai aksi pemogokan dan tuntutan. Gagasan
Marxisme atau sosialisme ilmiah yang dibawa oleh Henk Sneevliet serta Tan
Malaka menjadi pijakan penting dalam gerakan. Ketika gerakan kiri diberangus pada
penghujung 1926, kekosongan tonggak gerakan diambil alih oleh kelompok
intelektual muda nasionalis kiri radikal yang telah terbentuk kesadaran
politiknya pada 1920an, seperti Soekarno dengan PNI dan gagasan Marhenismenya.
Datangnya Jepang
hingga kemerdekaan pada 1945 tak bisa dipisahkan dari kekuatan gerakan rakyat
ini. Mereka melakukan perang gerilya, mogok, vergadering, aksi
massa, berorganisasi, rapat akbar dan berpartai untuk menuntaskan proses
revolusi nasional yang anti neo-kolonialisme dan anti neo-imperialisme. Para
mahasiswa, pemuda bersama rakyat berupaya menghabisi sisa-sisa kolonialisme dan
feodalisme dengan tuntutan nasionalisasi,land reform dan berdikari.
Namun pada 1965-1967,
terjadi penghancuran gerakan revolusi nasional yang hampir 60 tahun telah
terbangun. Pelakunya adalah rezim Orde Baru (orba). Gerakan mahasiswa pada 1965
yang dipelopori oleh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang dibentuk
atas anjuran Mayor Jendral Syarif Thayib, Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu
Pengetahuan pada 25 Oktober 1965, adalah gerakan yang berselingkuh dengan
Angkatan Darat dalam mendirikan orba. Setelah orba tegap memimpin, para
pemimpin KAMI banyak yang masuk dalam pemerintahan sebagai timbal jasa. Tentu
ada yang tak terserap dan bergerak di luar.
Gerakan mahasiswa pada
tahun 1970an, terjebak pada kerangka gerakan moral. Seperti tokoh dalam gerakan
tersebut Arief Budiman, yang menyerukan gerakan Golput atau Golongan Putih
terhadap Pemilu yang tak adil. Gerakan mahasiswa pada masa ini hanya bergulat dengan
teori, membuat sikap pernyataan dan menegur penguasa tanpa pernah melakukan
gerakan mobilisasi massa serta bergabung dengan massa rakyat yang dihisap oleh
rezim orba.
Kebijakan ‘massa
mengambang’ yang digagas oleh Ali Moertopo telah membuat rakyat buta politik.
Keadaan tersebut membuat masyarakat yang marah terhadap penguasa tak dapat
menyalurkan amarahnya dalam gerakan politik yang terorganisasi, sehingga yang
terjadi adalah kerusuhan. Hingga terjadi peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas
Januari) yang dilakukan generasi mahasiswa 1973-74. Akibat proses tersebut
rezim Soeharto mengambil tindakan normalisasi kehidupan kampus (NKK) dalam
kehidupan politik. Karena kampus selama periode tersebut menjadi pusat
mobilisasi mahasiswa dan pusat kritik terhadap penguasa.
Gerakan mahasiswa pada
era akhir 1980an sampai 1998 mulai belajar dari kekalahan atau kesalahan
gerakan sebelumnya paska 1965, yaitu karena terpisah dari kekuatan
rakyat dan mereka tak memiliki basis massa yang kuat dan luas (analisa
Danial Indrakusuma, aktivis mahasiswa & tokoh pendiri PRD). Belajar dari
gerakan mahasiswa di Filipina pada 1980an yang berhasil menggulingkan diktator
Marcos dengan strategi ‘Live-in’ (hidup dan berjuang bersama
rakyat), maka gerakan mahasiswa pada masa itu melakukan strategi yang sama. PRD
yang terbentuk pada 1994 (diinisasi oleh mahasiswa, aktivis, buruh, petani dan
lainnya) memainkan peran penting dalam kembali menjalankan politik mobilisasi
massa dengan cara Live-in di kawasan perburuhan, kawasan
pinggiran kota, dan di tengah konflik agraria. Hingga akhirnya rezim Soeharto
menyatakan PRD sebagai partai terlarang dengan menangkap para aktivisnya. Hal
tersebut membuat PRD melakukan gerakan bawah tanah dengan membawa bendera
berbeda yang mampu mendorong lengsernya Soeharto pada Mei 1998 setelah 32 tahun
memimpin.
Seperti yang
ditanyakan oleh Pram, gerakan mahasiswa atau pemuda yang berhasil menggulingkan
Soeharto tersebut ternyata tidak menghasilkan tokoh politik nasional pada
periode era reformasi. Bahkan sampai sekarang, tokoh nasional hanya diisi oleh
orang-orang dari enclave orba. Pada 1999 ada Amin Rais,
Megawati dan Gus Dur, sedangkan sampai sekarang hanya diisi oleh SBY, Jusuf
Kalla, dan Prabowo. Jokowi memang tidak termasuk enclavepeninggalan
orba, namun ia tak terlahir dari proses gerakan dan tak memiliki gagasan besar
tentang ke-Indonesiaan.
PRD sebagai pelopor
gerakan melengserkan Soeharto dalam pemilu 1999, juga tidak dapat berbicara
banyak. Jargon mereka “Pilih PRD atau Boikot Pemilu bersama Rakyat” menunjukan
adanya kebimbangan dan perpecahan di internal partai tersebut dalam terjun
dalam ajang kontestasi politik. Perpecahan terjadi karena ada dua arus
pemikiran berbeda, apakah mereka akan bergerak di luar sistem dengan politik
ekstra-parlementer atau bergerak di dalam. Sebelumnya mereka dikhianati oleh 4
tokoh reformis yaitu Megawati, Abdurahman Wahid, Amin Rais dan Sultan
Hamengkubuwono X melalui pertemuan Ciganjur, yang kemudian menghentikan
sebagian besar kekuatan mobilisasi massa yang memiliki potensi besar membawa
roda pemerintahan kembali menapaki semangat revolusi nasional.
Hingga saat ini, PRD
telah mengalami masa degenerasi dan deidiologisasi, karena aktivis-aktivis yang
bergerak di dalamnya selama periode 1994-2000an telah banyak yang keluar. Garis
politik PRD dari gagasan sosialisme demokrasi kerakyatan, sekarang cenderung
mengarah ke Soekarnoisme. PRD pun pada akhirnya kehilangan pengaruhnya pada
basis massa rakyat. Keadaan tersebut dipengaruhi oleh hilangnya musuh bersama
yaitu Soeharto pada era orba. Setelah Soeharto sukses dijatuhkan, bayangan akan
musuh bersama menjadi samar. Ketiadaan musuh bersama membuat mereka kehilangan
dukungan dari rakyat.
Selain itu faktor yang
penting sebagaimana kesimpulan dari Pram dalam menjawab pertanyaan di awal
adalah bahwa: “Kita secara nasional dilahirkan oleh revolusi nasional dan
berhasil menghalau Imperialisme… disusul perjuangan menuntaskan revolusi:
sekarang itu sudah padam samasekali. Kesimpulan saya: karena perkembangan orba
menyalahi sejarah sebagai titik awal tempat bertolak sehingga kehilangan arah
tak tau tujuan, alias ngawur”.
Pembantaian masal pada
organ gerakan kiri, penghancuran terhadap gagasan revolusioner dan
pemberangusan mobilisasi rakyat untuk menuntaskan revolusi nasional selama masa
orba, telah membuat rakyat menjadi buta politik. Kekosongan gagasan
revolusioner telah mencuatkan gagasan konservatif. Setelah jatuhnya Soeharto,
rakyat yang dibuat menjadi masa mengambang, banyak yang tak mengetahui kemana
mereka harus menyandarkan pilihan politiknya. PRD tidak mampu melakukan
kampanye masif di berbagai media massa umum, sementara koran yang dibuatnya
tidak mampu menyentuh segala lini masyarakat.
Akibatnya rakyat yang
tengah berada pada masa krisis menyandarkan pilihan politiknya pada tokoh-tokoh
reformis yang mendapat banyak sorotan oleh media massa. Hilangnya budaya
berserikat, berpartai, rapat akbar, aksi, mogok dan bersuara telah menjadi
salah satu penyebab kegagalan era reformasi ini. Kekosongan politik kiri,
membuat para pemuda pengangguran, pemuda di pinggiran kota, pemuda desa yang
tereksklusi dari dunia pertanian dan begitu pula para mahasiswa pada akhirnya
menjatuhkan pilihan politiknya pada gagasan politik relijius
konservatif ataurelijius fundamentalis radikal. Para pemuda
tersebutlah yang sekarang menjadi basis masa dari organisasi semacam FPI (Front
Pembela Islam).
Apa Yang
Harus Dilakukan?
Kini kita dihadapkan
pada hasil dari proses penghancuran atau kontra-revolusi gerakan politik rakyat
oleh rezim orba. Konsep “massa mengambang” yang diterapkan oleh rezim orba
telah membuat mahasiswa begitupula rakyat kebanyakan, terjerat dalam kesadaran
palsu mereka dan imajinasi ketakutan terhadap perjuangan politik. Artinya
gerakan mahasiswa ke depan harus mampu menghubungkan dan membangun kembali atau
melampaui perjuangan politik rakyat yang terbentuk pada 1912-1965.
Gerakan mahasiswa juga
harus belajar dari perjuangan gerakan mahasiswa pada masa sebelumnya. Mereka
harus bersikap tegas dengan berbagai kajian dan tidak hanya riuh dengan
selebrasi politik. Tidak hanya bergerak dalam dunia maya seperti dengan gerakan
petisi online, akan tetapi bergerak dalam aksi nyata. Mahasiswa di
Chile berhasil mendorong kebijakan kuliah gratis yang dibiayai dari pajak
korporasi, karena mereka turun ke jalan-jalan untuk aksi massa dengan
tuntutan-tuntutan yang menekan penguasa sejak tahun 2006 melalui apa yang
dinamai Penguin Revolution.
Artinya, gerakan
mahasiswa selain berkutat dengan teori, mereka harus turun ke massa rakyat
melalui strategi live-in dengan melakukan aktivitas
sosial-politik demi menciptakan kesadaran politik pada massa dan keyakinan atas
kekuatannya. Melakukan berbagai kajian dan membentuk media propaganda seperti
Koran menjadi penting untuk memperkuat argumen dan memperluas kesadaran massa. Kebijakan
pemerintah yang masih terjerat dalam politik neoliberal, membuat terus
terjadinya berbagai konflik yang melibatkan rakyat dengan pemerintah atau
swasta serta dengan keduanya. Di sana mereka dapat turut membantu perjuangan
rakyat dengan membentuk blok historis. Dan hal utama adalah untuk menghidupkan
kembali “perjuangan menyelesaikan revolusi nasional Indonesia”
Namun itu hanyalah harapan semata
melihat mahasiswa kini apatis tidak mau tau dengan keadaan bangsa nya,mahasiswa
kini takut berorganisasi,hingga lupa dengan tugas nya sebagai agen of change
yang memiliki kuasa tertinggi,itulah keadaan mahasiswa sekarang yang tidak mau
memikirkan rakyat nya,malah sibuk dengan dengan hal-hal yang lebih penting
lainnya dan kini mahasiswa malah di lenakan dengan teknologi yang begitu pesat
dan seharus nya dengan teknologi itu mahasiswa lebih mudah untuk menyuarakan
kebenaran.inilah keadaan sekarang semoga mahasiswa kedepannya lebih peduli
terhadap persoalan yang ada di bangsa.